Ketika Orang Lain yang Memulai

on Sunday, December 21, 2008

keyyenn-getho351keyyenn-getho346

Dulunya saya sempat berfikir apa penilaian orang luar terhadap kampung kita. Sebuah kampung yang sangat kita kenal dengan baik. Disanalah tempat kita dilahirkan, dibesarkan, dan mungkin menghabiskan hari tua nantinya. Apakah mereka mempunyai pandangan yang sama ataukah jauh berbeda? Dan jika berbeda sejauh apakah perbedaannya?

Saya tersentak kaget dan sekaligus malu ketika membaca sebuah blog yang menuliskan tentang Kuantan Singingi. Kampung halaman kita. Disana ada foto Koto Pangean, Padang Tanggung, dan Sungai Kuantan. Foto-foto yang menarik namun terasa menusuk sebab selama ini saya baru menyadari bahwa selama ini saya tidak peduli dengan keadaan di sekitar saya. Di blog itu, mbak Adesiti (sang penulis) mengedepankan sebuah ironi yang selama ini terpampang jelas di depan mata saya sebenarnya.

Kita mungkin bangga melihat berdirinya komplek perkantoran kabupaten kita yang berada di puncak bukit. Komplek perkantoran yang eksklusif dan mewah. Lihat saja, berapa ratus hektar lahan yang diolah untuk berdirinya kantor-kantor itu dan berapa milyar (atau trilyun?) uang yang dikeluarkan? Baru-baru ini juga telah diresmikan sebuah taman yang berada di pusat kota sebagai tempat rekreasi warga dan lambang kemegahan kota Teluk Kuantan. Namun pertanyaannya, rekreasikah yang sebenarnya dibutuhkan warga? Bermegah-megahkan yang diidam-idamkan masyarakat?

Tak salah jika Yasraf Amir Piliang dalam bukunya mengatakan bahwa keberadaan gedung-gedung perkantoran yang mewah, mall, lapangan golf dsb hanyalah sebagai sebuah simbol hasrat bagi sekelompok orang. Orang-orang kaya, orang-orang berduit. Benda-benda tersebut tak lebih sebagai sebuah arogansi visual yang membuat masyarakat kecil terpana dan akhirnya terasingkan dari kelompoknya sendiri. Rakyat kecil masih membutuhkan hal lain yang lebih urgent. Lebih penting dari sekedar simbol kepuasan. Salahkah jika sepuluh persen saja dari anggaran membuat "simbol kebanggaan" itu kita sisihkan untuk memenuhi mimpi mereka yang terlupakan?

Pertanyaan itu sudah dimulai (oleh orang lain). Tinggal bagaimana kita merenungkan dan menindaklanjuti pertanyaan tersebut.

Berikut saya lampirkan tulisan dari mbak Adesiti. Semoga bermanfaat...

Orang lebih mengenalnya sebagai Kuansing, singkatan dari Kuantan Singingi yang juga merupakan nama dua sungai terkenal di wilayah ini. Seperti kebanyakan wilayah Riau yang kaya, Kuansing juga dikenal sebagai penghasil karet dan sawit. Kekayaan itu segera terlihat bila kita menyusuri ibukota kabupaten, Taluk Kuantan, yang terus berbenah. Tampak pusat pertokoan besar tengah dibangun di pusat kota. Gedung-gedung pemerintahan tampak berdiri megah di sebuah bukit, menjadikan komplek perkantoran ini tampak eksklusif. Di dalam gedung-gedung itu, bertebaran perangkat canggih yang didatangkan dari Singapura, seperti LCD, laptop seri terbaru, dan tak ketinggalan peralatan video conference. Entah apakah alat-alat canggih itu betul-betul diperlukan. Beberapa pegawai pemerintah juga tampak menggenggam hand phone keren, yang tentu saja dapat digunakan untuk bermain internet, merekam, mendengarkan musik dan memotret dengan hasil yang jernih.

Sayang, kekayaan berlimpah itu tak otomatis menjadikan rakyatnya makmur. Ketika hari berikutnya saya mengunjungi desa-desa, segera pemandangan kontras terlihat jelas. Dari 10 desa yang saya kunjungi secara acak, sembilan desa diantaranya belum dialiri listrik!!! Bahkan, komplek kecamatan Logas Tanah Darat, yang jaraknya hanya sekitar 25 km dari ibukota, hingga 60 tahun Indonesia merdeka ini belum bisa menikmati alat penerangan temuan Thomas A. Edison itu.

Sungguh ironi. Dibalik kemegahan gedung-gedung di ibukota, masih banyak rakyat tinggal di rumah-rumah tua yang nyaris roboh dengan penerangan lampu minyak. Di Desa Koto, Kecamatan Pangean, warganya selalu kesulitan mendapat air bersih. Padahal desa ini sangat dekat dengan kota. Hanya butuh waktu 20 menit untuk menjangkaunya. Tapi lihatlah, gubug-gubug itu. Desa ini telah ditinggalkan generasi mudanya merantau, yang tersisa adalah generasi tua yang kini mendapat bantuan air bersih dari program kami.

Beberapa desa lainnya sangat terisolir, di balik bukit-bukit yang ditumbuhi sawit atau karet milik perusahaan. Mereka bekerja sebagai buruh penyadap karet atau pengambil sawit. Di desa Sako Margosari, kecamatan Logas Tanah Darat, air mata saya menitik. Saya bertemu Pak Kusnen, lelaki renta, transmigran asal Malang Jawa Timur. Kakinya ringkih menopang tubuhnya yang letih. Sudah 25 tahun ia di sini. Meninggalkan Jawa dengan bujuk rayu mendapat penghidupan yang lebih baik. Tapi yang terjadi sungguh sebaliknya. Tahun 1981, dengan empat anak yang masih kecil-kecil, ia harus menghadapi kenyataan. Terdampar di tengah hutan rimbun. Tanah dua hektar yang dijanjikan pemerintah ternyata tidak cocok untuk lahan pertanian. Bertahun-tahun tanaman padi yang ditanamnya mati membusuk. Ia dan ratusan transmigran lainnya kemudian banting stir menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit. Keahliannya bercocok tanam terkubur begitu saja. Tak ada pilihan. Perusahaan kemudian menawarkan investasi kelapa sawit di lahan miliknya, dengan konsekuensi bagi hasil. Pak Kusnen juga harus mencicil ke koperasi untuk melunasi ‘kredit investasi” itu selama 25 tahun!! Kini yang diimpikan Pak Kusnen hanya satu.

“Sebelum saya meninggal dan dikuburkan di sini, saya berharap pemerintah sudah membangunkan listrik untuk cucu-cucu kami”

Memang, tiang-tiang listrik sudah tampak ditanam di sepanjang jalan. Namun meski telah 6 tahun berdiri, listrik tak kunjung masuk. Akhirnya kabel-kabel itu dicuri orang, entah siapa...

Namun dibalik pemandangan duka lara itu, saya juga menemukan wajah-wajah ceria. Itulah wajah anak-anak negeri. Mereka selalu gembira berebut minta difoto.


Dan berikut ini adalah sebagian foto dari mbak Adesiti:

gedung-dprd-dilihat-dari-jalan-rayakantor-bappeda-2ini-jugatak-layak-hunimulai-gelap-kala-malam-menjelangdicurisalah-satu-proyek-mubazir-itusalah-satu-sudut-desa-kotodatuk-uttar-tetua-adat-desa-koto

Keterangan Foto:

  1. Gedung DPRD
  2. Kantor Bappeda
  3. Salah satu rumah di Pd. Tangguang
  4. Salah satu rumah di sudut desa Koto Pangean
  5. Rumah lain di desa Pd. Tangguang
  6. Kabel listrik yang dicuri
  7. Proyek yang mubazir
  8. Sudut desa Koto Pangean
  9. Datuak Utar, Tetua Adat Koto Pangean

Terima kasih untuk mbak Adesiti: http://adesiti.multiply.com/photos/album/20/Travelogue_Kuantan_Singingi_Riau

0 comments:

Post a Comment