PACU ONAU - DAHULU DAN SEKARANG

on Wednesday, January 7, 2009

RISWAN INDRA


Pengertian

Pacu Onau (enau), sesuai dengan namanya, merupakan sebuah perlombaan yang menggunakan pelepah enau sebagai alat permainan. Pelepah enau ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah perahu lengkap dengan nama dan warna yang menarik. Nama yang dipakai pada perahu sangat beragam dan unik bahkan ada pula yang mengungkapkan isi hati empunya perahu seperti pada perahu-perahu yang ditemukan pada lomba di Pangean. Nama-nama perahu tersebut adalah "Adiak Bapaliang kek Baju Dinas ; Kau Barubah dek Gotah Murah; dan Dek Tiger Supra Taciciar". Perahu-perahu ini menjadi multifungsi. Disamping untuk penggunaannya di dalam lomba, perahu ini juga menjadi media pengekspresian suasana hati sang pemilik.



Perahu enau yang telah diberi nama dan diwarnai ini kemudian dilombakan pada event-event besar (biasanya antar kampung dan kecamatan). Penilaian perahu yang menjadi juara adalah dengan melihat sejauh mana perahu tersebut bisa diluncurkan pada lintasan. Jarak lintasan yang digunakan tidak terbatas, artinya selagi perahu tersebut masih bisa meluncur maka sejauh itu pulalah lintasan tersebut digunakan.

Kilas Balik


Pada dasarnya Pacu Onau adalah sebuah permainan yang dimainkan oleh anak-anak. Menurut Dt. Bagindo Parkaso (Penghulu Suku Paliang di Pangean), permainan ini dulunya hanya dimainkan di kalangan umur 10-14 tahun (sekitar kelas 4-6 Sekolah Dasar). Sedangkan anak-anak yang lebih besar sudah merasa malu untuk memainkan permainan ini dikarenakan mereka sudah merasa dewasa dan memiliki ruang pergaulan yang berbeda. Pacu Onau, pada masa itu, dimaksudkan sebagai perintang waktu ashar atau dalam bahasa Pangean disebut dengan palengah-lengah ashar dan dimainkan pada musim kemarau. Hanya pada musim inilah lintasan tanah bisa digunakan, sebab pada musim hujan lintasan akan menjadi becek dan menghambat laju perahu sehingga otomatis permainan ini tidak bisa dimainkan.

Sesuai dengan keadaan pada waktu itu, perahu enau tidak menggunakan cat miyak seperti pada masa sekarang melainkan dengan menggunakan bahan pewarna alami seperti getah pohon dan bunga yang ditumbuk. Untuk warna merah, pewarna yang digunakan biasanya adalah Bunga Siti Maryam. Bunga ini ditumbuk lalu dioleskan pada perahu, namun biasanya pewarna ini tidak tahan lama sehingga harus dioleskan berulang-ulang agar tetap kelihatan menyala. Warna kuning biasanya diambil dari getah pohon Linsono yang dicampur dengan kapur sirih. tujuan pencampuran dengan kapur sirih adalah supaya warna tersebut bisa tahan lama.


Hadiah yang digunakan dalam perlombaan ini disebut dengan polok. Polok adalah bungkus rokok yang telah dilipat menjadi segitiga siku-siku. Yang membuat polok ini bernilai adalah harga bungkus rokok yang digunakan. Semakin tinggi harga rokok tersebut maka semakin besar pula nilai polok yang dijadikan hadiah. Rokok yang lazim digunakan sebagai polok adalah rokok-rokok impor seperti Serimpi (25 sen), Admiral (50 sen), Escort (50 sen) dan Kansas (100 sen). Namun, pada event-event perlombaan yang bersifat lebih besar (antar kampung), polok tidak lagi digunakan melainkan diganti dengan bendera kecil dengan nama peres. Bentuk peres tidak jauh berbeda dengan polok, namun yang menjadi kebanggaan dalam mendapatkan peres adalah tulisan Juara yang ditulis besar-besar pada bendera tersebut. Jika ada peres di sebuah rumah, maka bisa dipastikan sang pemilik rumah pernah menjadi juara pacu onau pada event tertentu.

Pacu Onau disebut juga dengan permainan musiman sebab pelepah enau tidak mungkin selamanya ada dan bisa digunakan. Ada masanya pelepah tersebut habis dan harus menunggu beberapa bulan lagi agar bisa diambil dan dijadikan perahu. Namun sayangnya, munculnya permainan-permainan baru memaksa pacu onau ini untuk menghilang dan tenggelam. Menurut sumber yang bisa dipercaya, terakhir pacu onau dimainkan anak-anak adalah pada tahun 1988, setelah ini pacu onau tidak kelihatan lagi dan digantikan oleh permainan-permainan baru.

Pacu Onau Sekarang

Pada bulan Agustus tahun 2008, untuk menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia, terbersit sebuah keinginan dari GEMPA (Generasi Muda Pasarbaru Pangean) untuk mengadakan semacam perlombaan ringan - namun bersifat nostalgia dan unik - yang diminati masyarakat. Setelah bermacam-macam usul ditampung dan dimusyawarahkan, maka dipilihlah Pacu Onau karena biaya yang dikeluarkan tidaklah seberapa besar. Disamping itu, diharapkan dengan adanya perlombaan pacu onau kembali, perhatian masyarakat akan permainan-permainan rakyat yang lama menjadi tergugah dan turut menjaga kelestarian permainan tersebut dimasa yang akan datang. Harapan ini akhirnya mendapatkan jawaban gemilang. Setelah perlombaan pertama, acara lomaba pacu onau mulai tersebar ke beberapa kampung, bahkan sampai pada kecamatan tetangga. Sampai sekarang sudah tercatat puluhan lomba pacu onau dengan hadiah yang menggiurkan.



Perbedaan yang signifikan dari lomba pacu onau dahulu dan sekarang adalah pemain dan hadiah yang digunakan. Pada masa ini, pacu onau tidak lagi dimainkan oleh anak-anak melainkan orang-orang dewasa (laki-laki), bahkan adapula beberapa kecamatan yang mengadakan perlombaan pacu onau untuk perempuan. Sehingga timbul beberapa pandangan tidak baik dari masyarakat bahwa permainan ini sudah berlebih-lebihan. Hadiah yang digunakanpun sudah sangat jauh berbeda. Dari sekedar bungkus rokok, berubah menjadi uang senilai jutaan rupiah. Sehingga nilai "permainan" dari pacu onau ini sudah mulai terkikis, digantikan dengan nafsu untuk mendapatkan uang tersebut.

Note: Terima kasih untuk Dt. Bagindo Parkaso atas "nostalgia"nya yang sangat membantu atas munculnya tulisan ini

Makna Lambang Daerah Pangean

on Saturday, January 3, 2009

Makna dan arrti motif lambang daerah Pangean

1. Pedang dan perisai Lambang patriotisme rakyat Pangean dalam membela nagori dari ancaman dan gangguan keamanan baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
2. Burondo Lambang kebesaran kesenian dan kebudayaan Pangean; juga melambangkan perpaduan empat persukuan Pangean, persaudaraan dan bersatu dalam kesatuan Republik Indonesia
3. Dua kaki payung Keseimbangan rohani dan jasmani dalam sifat kepemimpinan nagori yang selalu melindungi rakyat Pangean
4. Tiga lekukan yang terdapat pada ujung-pangkal sayap burondo Simbol tiga unsur pegangan hidup masyarakat Pangean: Adat - Syarak - Kitabullah
5. Balai adat Simbol adanya pertemuan pemuka adat, agama dan pemuka masyarakat lainnya pada tempat tertentu dengan waktu dan acara tertentu pula
6. Kubah masjid, bintang, dan mata angin Simbol agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Pangean

Pengertian Warna

1. Warna dasar kuning berarti kebesaran, demokrasi, musyawarah, dan mufakat
2. Huruf "Pangean", mata angin warna putih berarti kesucian dan ketaatan menjalankan syariat Islam
3. Segi empat panjang dan bulan bintang warna hitam bermakna ketabahan dan keuletan
4. Burondo dan balai adat berwarna hijau berarti kesetiaan terhadap nagori
5. Perisai, pedang, payung, kubah masjid, dan garis pinggir segi lima warna coklat berarti warisan budaya

Sumber: Sejarah Kebudayaan Pangean (Mohd. Said: 1990)

ASAL MUASAL PENDEKAR KUANTAN

on Monday, December 22, 2008

Pada jaman ± 1500 M Kerajaan Pagaruyung masih memeluk agama Hindu pada masa Raja Paku Alam II. Kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan Minangkabau yang terbesar dan termasyhur pada saat itu. Pada masa itu datanglah penyiar agama Islam ketanah Pagaruyung dari Persia yang bernama Syech Burhanudin. Agama islam yang diajarkan oleh Syech Burhanudin awalnya ditolak oleh pihak kerajaan dan masyarakat tetapi Syech Burhanudin selalu melakukan pendekatan-pendekatan dengan penduduk Minangkabau baik penetrasi melalui budaya tempatan maupun dari rumah kerumah. Syech Burhanudin menyebarkan agama Islam tidak sendirian tetapi dia dibantu oleh murid-muridnya, Malin nan Putiah adalah murid Syech Burhanudin yang terkenal pada saat itu.

Dalam adat Minangkabau istri Raja atau permaisuri disebut dengan Bundo Kanduang. Adik kandung perempuan dari Bundo Kanduang bernama Bundo Panjago Adat dan suami dari Bundo Panjago Adat bernama Datuak Panjago Nagori. Akibat Bundo Kanduang tidak memiliki keturunan dengan Raja Paku Alam II maka dia mengangkat anak dari anak Bundo Panjago Adat, anak tersebut bernama Siti Hasimah. Siti Hasimah dibesarkan dalam lingkungan religius dan adat-istiadat Minangkabau, dia anak kesayangan dari Bundo Kanduang. Siti Hasimah mempunyai guru ngaji bernama Malin nan Putiah, murid dari Syech Burhanudin yang akhirnya Malin nan Putiah tersebut mempersunting Siti Hasimah menjadi istrinya. Perkawinan Siti Hasimah dengan Malin nan Putiah menghasilkan tiga orang keturunan atau pangeran. Anak pertamanya diberi nama Ahmad, anak kedua dengan nama Syarif dan anak ketiga dengan nama Ali. Siti Hasimah belajar silat melalui mimpi, ini didapatkannya karena Penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dan nilai-nilai religius yang diamalkan Siti Hasimah disertai rajin membaca kitab suci Al-Qur’an dan melaksanakan ibadah Sholat wajib dan sholat malam. Siti Hasimah yang dalam sapaan kependekarannya bernama “Inyiak Simah atau Olang Bagegah” mempunyai dua orang saudara kandung yaitu Siti Fatimah dan Siti Halimah serta satu orang saudara angkat yaitu Ismail yang bergelar dengan nama Datuak Bolang.

Akibat kekacauan yang terjadi didalam kerajaan Pagaruyuang maka Inyiak Simah pergi merantau ke hilir daerah Minangkabau untuk menyebarkan agama Islam, tiga orang putranya dititipkannya dengan pamannya yaitu Datuak Bolang sekaligus belajar ilmu beladiri/silat dengan Datuak Bolang tersebut. Akhir petualangan Inyiak Simah singgah disebuah negeri disalah satu didaerah aliran sungai Kuantan yang pada saat itu negeri tersebut belum ada nama, karena belum ada nama maka Inyiak Simah memberi nama tersebut dengan nama Pangean, nama tersebut terinspirasi dari nama daerah kampung halaman orang tua Inyiak Simah yaitu Pangian di Lintau. Dari sinilah dikenal asal muasal nama Pangean dan silat Pangean yang dikenal ke penjuru negeri. Negeri tersebut berada diwilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau.

Dinegeri baru tersebut Inyiak Simah menetap. Selang beberapa tahun Inyiak Simah merantau hal tersebut menimbulkan kegelisahan dari suaminya Malin nan Putiah, oleh sebab itu Malin nan Putiah mengutus Datuak Bolang dan ketiga anaknya untuk mencari Inyiak Simah. Akhirnya Inyiak Simah bertemu dengan Datuak Bolang, Ahmad, Syarif dan Ali dinegeri Pangean. Di Pangean inilah Inyiak Simah dan anak-anaknya menyusun kekuatan dan mengajarkan Silat kepada anak-anaknya.

Datuak Malin nan Putiah akhirnya menyusul mencari Inyiak Simah dan anak-anaknya dengan hilir melalui sungai Batang Kuantan, pencarian Datuak Malin nan Putiah tidak sia-sia, dia menemukan anak dan istrinya di Pangean. Datuak Malin nan Putiah membujuk istrinya untuk pulang ke Pagaruyung tetapi ditolak oleh istrinya karena sudah merasa nyaman dan tentram hidup didaerah baru tersebut (Pangean), dan pada akhirnya terjadi pertengkaran dan perkelahian antara Inyiak Simah dan Datuak Malin nan Putiah, sebelum berkelahi mereka mengadakan perjanjian yaitu jika Inyiak Simah kalah, maka dia bersedia untuk pulang ke Pagaruyung dan sebaliknya. Didalam perkelahian itu terucaplah beberapa petuah oleh Inyiak Simah yaitu “ somuik bairiang ta pijak indak mati alu taaruang patah tigo, makan abih-abih manyuruak hilang-hilang, ompek ganjial limo gonok” makna petuah tersebut sangat dalam maknanya dan memiliki nilai spritual dalam silat Pangean. Akhirnya pertempuran itu dimenangkan oleh Inyiak Simah dan Malin nan Putiah akhirnya mengikuti keinginan Inyiak Simah dan menetap di Pangean.

Didalam gelar kependekaran Ahmad dikenal dengan nama Pendekar Baromban Bosi, dia sebagai seorang yang mengerti dan memahami agama dan hukum adat-istiadat. Syarif dikenal dengan nama Pendekar dari Utara yang menyebarkan Silat dan agama islam kearah utara Pangean dan Ali bergelar Pendekar dari Selatan yang menyebarkan silat dan agama islam kearah selatan Pangean. Sedangkan Datuak Bolang melakukan ekspansi agama islam dan menyebarkan agama Islam kearah Melayu Kepulauan atau Terempak Natuna dan Malaka. Datuak Bolang ini lah yang nantinya bergelar Hang Tuah didaerah perantauan.

Tanah Pangean terkenal pula dengan persilatannya, nama yang tak asing bagi pesilat di Kuantan. Silat ini diwariskan secara turun temurun. Silat Pangean diajarkan kepada anak dan kemenakan. Dalam gerakan, silat Pangean dikenal dengan gerak lembut dan gemulai. Meski begitu setiap gerakan menyimpan efek yang mematikan. Aliran silat Pangean ada dua jenis yaitu Pangean Bathino yang langsung dwariskan oleh Inyiak Simah dan Pangean jantan yang diwariskan oleh Datuak Bolang. Pangean jantan gerakannya sedikit kasar dan dipergunakan untuk perang atau pasukan terdepan dalam siasat perang adat Pangean, terkadang Pangean Jantan ini banyak disalah gunakan oleh pesilat Pangean kearah kiri atau ketabiat negatif. Sedangkan Pangean bathino gerakannya yang lemah gemulai dan lunak diperuntukan bagi pangeran-pangeran kerajaan atau keturunan raja, aliran Pangean Bathino ini dikenal dengan nama khas sebagai ilmu pangean kebathinan. Jadi Silat Pangean Jantan berasal dari Lintau yang diwariskan oleh Datuak Bolang dan Pangean Bathino berasal dari Pangean, salah satu daerah di Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau.

Kini, dalam mencapai tujuan pengembangan silat dan dalam rangka melestarikan kebudayaan masyarakat Pangean, penghulu adat membuka laman silat di samping Mesjid Koto Tinggi Pangean. Sebuah bukit di Pangean yang bernama Bukit Sangkar Puyuh (sekarang Koto Tinggi Pangean). Nama bukit ini diambil dari bentuknya yang memang seperti Sangkar Burung Puyuh. Di sini sebuah balai adat didirikan. Selain itu, dalam rangka pemerataan keterampilan silat, para guru silat Pangean memberi izin untuk dibukanya laman silat di masing-masing banjar. Dalam penerapannya, silat Pangean terdiri dari permainan dan pergelutan. Tarian silat sambut menyambut serangan ini sering dimainkan di halaman. Hal ini berbeda dalam pengajaran silat kepada murid tingkat atas yang dilakukan di rumah. Silat didalam rumah ini yang disebut dengan Silat Pangean Kebathinan. Seiring berjalannya waktu silat Pangean mendapat perhatian yang luas. Tidak hanya di rantau Kuantan, tapi mulai dikenal di Indragiri dan daerah Riau lainnya. Bahkan pengaruh silat Pangean juga tumbuh diluar negeri seperti di Negara Malaysia, Singapura dan Pathani Thailand.

(SUMBER : NEKEGH BIJAK PENDEKAR LAMAN DATUK KAYE DEWA PERKASE & GURU TUO NAN BAROMPEK LAMAN PANGEAN BATHINO)

Diambil dari Blog Pendekar Kuantan

Pangean Creation 1

on Sunday, December 21, 2008



Ada rasa bangga terselip di dada saya ketika melihat hasil kerja keras anak Pangean dalam membuat album Pangean Creation I ini. Rasa bangga karena mereka telah menghasilkan sebuah karya yang membawa nama kampung halaman, nama negeri, dan nama Pangean kedunia luas. Terhitung sejak Kecamatan Pangean benar-benar berdiri sendiri, dalam artian tidak lagi berada dibawah Kecamatan Kuantan Hilir, belum ada satupun wadah yang mampu menampung minat dan bakat generasi muda Pangean untuk berkreasi dan berkarya. Padahal potensi-potensi yang ada sangat butuh perhatian dan butuh tempat pencurahan. Lihat saja, Yulhasri (yang juga hadir dalam album Pangean Creation I ini) pernah memenangkan lomba tingkat Kabupaten; Asjan, dengan Kuantan Bagoyang-nya yang sudah dikenal se-Kabupaten Kuantan Singingi; tak lupa band-band remaja yang baru hadir dan memberikan harapan seperti The Shake dan Bore Band, semua mereka perlu di wadahi. Mereka perlu di berikan ruang tempat berkreasi dan menunjukkan karya.

Hadirnya album Pangean Creation I yang di-prasaranai oleh caleg-caleg PPP, yang notabene adalah putra-putra Pangean juga, memberikan sebuah cahaya terang. Bang Pispian Rahman, S.Sn (biasanya lebih sering dipanggil bang Epis) dengan Manifesto Studio-nya telah memberikan sebuah jawaban dan solusi dari kebutuhan-kebutuhan tersebut. Album ini setidaknya telah menggeliatkan keinginan-keinginan pemuda-pemudi Pangean untuk berkarya. Senang sekali rasanya melihat orang-orang yang saya kenal ditonton dan diapresiasi oleh orang banyak. Tentunya, kemajuan teknologi telah ikut memberikan kemudahan-kemudahan. Tinggal lagi sumber daya manusianya yang juga harus ikut ditingkatkan.

Berbicara tentang kekurangan, tentu saja masih banyak yang harus diperbaiki dalam album ini. Terang sekali masih ada kekakuan dan kecanggungan yang terlihat jelas dari personil-personil yang tampil. Disamping itu, kualitas gambar, suara, dan juga mixing-nya masih belum bagus benar. Tapi, bagi saya pribadi, album ini sudah cukup memuaskan dan patut diacungi dua jempol. Banyak hal yang juga ikut terangkat dari sini; misalnya penampilan budaya (dalam lagu Kuantan Kayo Tradisi – Asjan) dan berbagai lokasi syuting video klip. Semuanya bisa sekalian dipromosikan disini. Istilahnya, sakali marongkuah dayuang, duo tigo pulau talampaui. Berkarya dan promosi.

Pada akhirnya, tidak kurang rasa terima kasih saya pada tiga calon anggota legislatif PPP yang mensponsori album ini. Beliau adalah Dr. Ir. A. Asri Harahap, SE.MM; H Syarif Hidayat, S.H; dan Sukemi S. Ag. Tak lupa pada Bang Epis, (tu baru mantap ma bang! Terus berkarya, tunggu awak disitu, hehe), dan pada semua yang telah membidani album Pangean Creation 1. Mudah-mudahan akan ada Pangean Creation II, III, dan seterusnya. Walau saya tidak ada andil apa-apa bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan album ini, namun sebagai putra Pangean wajar kiranya saya ikut berbangga hati. Bagi orang rantau seperti saya, walau sebenarnya tidaklah seberapa jauh dari kampung, album ini telah mengobati rasa tadogak akan Pangean, tanah laman tompek bagoluik, bakumpual, bacarito.

Sukses selalu buat Manifesto Studio dan terus berkarya.

Untuak kawan-kawan jauah yang ingin manengok logu-logu album ko go, silahkan kunjungi link dibawah ko ha....

Asjan - Cinto Tali Kompang

Asjan - Kuantan Kayo Tradisi

Asjan - Kuantan Bagoyang

The Shake - Shally

Yulhasri - Cinta Hitam

Bore Band - Karenamu

Syahbardi - Takut Sengsara

Domino


Setiap saya pulang kampung ataupun pergi ke kos teman di Pekanbaru, sangat sering saya menjadi pengamat permainan domino. Betapa tidak, hampir semua teman-teman saya adalah pemain domino. Siang dan malam selalu ada yang bermain domino. Baik itu di tempat fotokopi Da Ron, di tempat jualan ponsel Epen, atau tempat-tempat lainnya. Lalu saya? Ya, cukuplah menjadi pengamat saja. Sebab saya tidaklah terlalu faham dengan permainan tersebut. Haha.

Karena seringnya mengamati permainan tersebut, tertarik juga saya akhirnya untuk menelusuri sejarah dari permainan domino itu. Jika dilihat lebih jauh, domino tidak hanya merupakan sebuah permainan yang dilakukan di Pangean saja namun dikenal diseluruh antero dunia dan disebut dalam berbagai bahasa. Dalam Bahasa Minang, permainan domino biasa disebut "main balak"; di daerah Selensen Kabupaten Inderagiri Hilir, permainan ini dinamakan "lacak"; dalam bahasa bugis, domino dinamakan "domeng"; dan mungkin banyak lagi nama-nama lain yang tidak saya kenal. Tapi sebenarnya dari manakah kata domino tersebut berasal?


Kata domino sendiri bukanlah sebuah kata yang berasal dari bahasa Indonesia namun dari bahasa Latin: dominus yang berarti raja atau tuan. Menariknya, kata domino justru berasal dari nama topeng-topeng yang dipakai pada saat karnaval di venezia, domini. Domini ini berwarna putih dan dihiasi oleh titik-titik hitam. Yah, tidak jauh berbeda dengan batu (sebagian orang menyebutnya kartu) domino yang biasa dimainkan sekarang. Jadi DOMINO bukanlah nama sebuah permainan namun nama alat yang digunakan dalam permainan tersebut. Permainannya sendiri lebih dikenal dengan nama Dominoes atau permainan yang menggunakan domino.

Permainan domino menurut www.wikipedia.com diperkenalkan ke bangsa Cina oleh orang-orang India, lalu oleh orang-orang Cina permainan ini dikembangkan sampai ke daratan Eropa dan Amerika. Domino tertua diperkirakan dibuat tahun 1120 dan masih di ukir pada gading atau tulang. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kira-kira cara bermain domino orang-orang pada zaman itu :). Batu domino sekarang dibuat dengan bahan sintetis seperti plastik polystyrene sehingga aman untuk dihempaskan kuat-kuat ke meja (biasanya seperti itu).

Permainan domino melintasi Eropa pada Awal abad 18 dan pertama kali dilihat dimainkan Itali. Berbagai penyesuaian juga dilakukan sejalan dengan perbedaan budaya yang ada. Contohnya, Eropa menambahkan tujuh buah batu domino yang tidak memiliki mata (kosong). Permainan domino sendiri, dalam perkembangannya, sudah mengalami beberapa kali evolusi. Salah satunya adalah Mah Jong yang sangat populer di Amerika pada awal tahun 1920 sampai sekarang.

Disetiap daerah jenis permainan domino sangat bervariasi, namun yang sering saya lihat adalah main mandan (team) dan main simpang empat (individual). Dalam main mandan, kerjasama team adalah kunci dari kemenangan. Kesuksesan bergantung pada seberapa besar seorang pemain bisa membaca batu lawan dan batu mandan(team)nya sendiri. Seorang pemain juga harus rela berkorban demi mandan, sebab keegoisan seringkali menyebabkan kekalahan.

Permainan domino di Pangean, jika ditilik lebih lanjut, tidak lagi sekedar permainan yang bertujuan menghabiskan waktu dan bersifat hiburan semata, namun telah bertransfungsi menjadi sebuah arena bersosialisasi. Disanalah tempat bercanda, tertawa, mencemeeh, hangek-mahangek, dsb. Orang-orang yang duduk di tempat permainan haruslah kuat mental, sebab jika tidak biasa, cemeeh-cemeehan yang keluar bisa menyebabkan emosi berlebihan. Sehingga ada pameo di Pangean (khususnya di Pasarbaru) "kalau tak tahan cameeh, jan main ka pasar" artinya kalau tidak tahan di kata-katai lebih baik dirumah saja.

Begitulah, permainan domino yang sudah berabad-abad lalu di mainkan di negeri cina sampai sekarang masih menjadi permainan yang diminati masyarakat kecil. Dari Cina sampai ke Indonesia dan sampai pula ke Pangean, kampuang awak. Dari tulang dan gading berubah menjadi plastik. Yang paling penting, dari sekedar permainan yang bersifat hiburan berubah menjadi ajang bersosialisasi dan uji mental.

Sumber data: http://en.wikipedia.org/wiki/Dominoes

Ketika Orang Lain yang Memulai

keyyenn-getho351keyyenn-getho346

Dulunya saya sempat berfikir apa penilaian orang luar terhadap kampung kita. Sebuah kampung yang sangat kita kenal dengan baik. Disanalah tempat kita dilahirkan, dibesarkan, dan mungkin menghabiskan hari tua nantinya. Apakah mereka mempunyai pandangan yang sama ataukah jauh berbeda? Dan jika berbeda sejauh apakah perbedaannya?

Saya tersentak kaget dan sekaligus malu ketika membaca sebuah blog yang menuliskan tentang Kuantan Singingi. Kampung halaman kita. Disana ada foto Koto Pangean, Padang Tanggung, dan Sungai Kuantan. Foto-foto yang menarik namun terasa menusuk sebab selama ini saya baru menyadari bahwa selama ini saya tidak peduli dengan keadaan di sekitar saya. Di blog itu, mbak Adesiti (sang penulis) mengedepankan sebuah ironi yang selama ini terpampang jelas di depan mata saya sebenarnya.

Kita mungkin bangga melihat berdirinya komplek perkantoran kabupaten kita yang berada di puncak bukit. Komplek perkantoran yang eksklusif dan mewah. Lihat saja, berapa ratus hektar lahan yang diolah untuk berdirinya kantor-kantor itu dan berapa milyar (atau trilyun?) uang yang dikeluarkan? Baru-baru ini juga telah diresmikan sebuah taman yang berada di pusat kota sebagai tempat rekreasi warga dan lambang kemegahan kota Teluk Kuantan. Namun pertanyaannya, rekreasikah yang sebenarnya dibutuhkan warga? Bermegah-megahkan yang diidam-idamkan masyarakat?

Tak salah jika Yasraf Amir Piliang dalam bukunya mengatakan bahwa keberadaan gedung-gedung perkantoran yang mewah, mall, lapangan golf dsb hanyalah sebagai sebuah simbol hasrat bagi sekelompok orang. Orang-orang kaya, orang-orang berduit. Benda-benda tersebut tak lebih sebagai sebuah arogansi visual yang membuat masyarakat kecil terpana dan akhirnya terasingkan dari kelompoknya sendiri. Rakyat kecil masih membutuhkan hal lain yang lebih urgent. Lebih penting dari sekedar simbol kepuasan. Salahkah jika sepuluh persen saja dari anggaran membuat "simbol kebanggaan" itu kita sisihkan untuk memenuhi mimpi mereka yang terlupakan?

Pertanyaan itu sudah dimulai (oleh orang lain). Tinggal bagaimana kita merenungkan dan menindaklanjuti pertanyaan tersebut.

Berikut saya lampirkan tulisan dari mbak Adesiti. Semoga bermanfaat...

Orang lebih mengenalnya sebagai Kuansing, singkatan dari Kuantan Singingi yang juga merupakan nama dua sungai terkenal di wilayah ini. Seperti kebanyakan wilayah Riau yang kaya, Kuansing juga dikenal sebagai penghasil karet dan sawit. Kekayaan itu segera terlihat bila kita menyusuri ibukota kabupaten, Taluk Kuantan, yang terus berbenah. Tampak pusat pertokoan besar tengah dibangun di pusat kota. Gedung-gedung pemerintahan tampak berdiri megah di sebuah bukit, menjadikan komplek perkantoran ini tampak eksklusif. Di dalam gedung-gedung itu, bertebaran perangkat canggih yang didatangkan dari Singapura, seperti LCD, laptop seri terbaru, dan tak ketinggalan peralatan video conference. Entah apakah alat-alat canggih itu betul-betul diperlukan. Beberapa pegawai pemerintah juga tampak menggenggam hand phone keren, yang tentu saja dapat digunakan untuk bermain internet, merekam, mendengarkan musik dan memotret dengan hasil yang jernih.

Sayang, kekayaan berlimpah itu tak otomatis menjadikan rakyatnya makmur. Ketika hari berikutnya saya mengunjungi desa-desa, segera pemandangan kontras terlihat jelas. Dari 10 desa yang saya kunjungi secara acak, sembilan desa diantaranya belum dialiri listrik!!! Bahkan, komplek kecamatan Logas Tanah Darat, yang jaraknya hanya sekitar 25 km dari ibukota, hingga 60 tahun Indonesia merdeka ini belum bisa menikmati alat penerangan temuan Thomas A. Edison itu.

Sungguh ironi. Dibalik kemegahan gedung-gedung di ibukota, masih banyak rakyat tinggal di rumah-rumah tua yang nyaris roboh dengan penerangan lampu minyak. Di Desa Koto, Kecamatan Pangean, warganya selalu kesulitan mendapat air bersih. Padahal desa ini sangat dekat dengan kota. Hanya butuh waktu 20 menit untuk menjangkaunya. Tapi lihatlah, gubug-gubug itu. Desa ini telah ditinggalkan generasi mudanya merantau, yang tersisa adalah generasi tua yang kini mendapat bantuan air bersih dari program kami.

Beberapa desa lainnya sangat terisolir, di balik bukit-bukit yang ditumbuhi sawit atau karet milik perusahaan. Mereka bekerja sebagai buruh penyadap karet atau pengambil sawit. Di desa Sako Margosari, kecamatan Logas Tanah Darat, air mata saya menitik. Saya bertemu Pak Kusnen, lelaki renta, transmigran asal Malang Jawa Timur. Kakinya ringkih menopang tubuhnya yang letih. Sudah 25 tahun ia di sini. Meninggalkan Jawa dengan bujuk rayu mendapat penghidupan yang lebih baik. Tapi yang terjadi sungguh sebaliknya. Tahun 1981, dengan empat anak yang masih kecil-kecil, ia harus menghadapi kenyataan. Terdampar di tengah hutan rimbun. Tanah dua hektar yang dijanjikan pemerintah ternyata tidak cocok untuk lahan pertanian. Bertahun-tahun tanaman padi yang ditanamnya mati membusuk. Ia dan ratusan transmigran lainnya kemudian banting stir menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit. Keahliannya bercocok tanam terkubur begitu saja. Tak ada pilihan. Perusahaan kemudian menawarkan investasi kelapa sawit di lahan miliknya, dengan konsekuensi bagi hasil. Pak Kusnen juga harus mencicil ke koperasi untuk melunasi ‘kredit investasi” itu selama 25 tahun!! Kini yang diimpikan Pak Kusnen hanya satu.

“Sebelum saya meninggal dan dikuburkan di sini, saya berharap pemerintah sudah membangunkan listrik untuk cucu-cucu kami”

Memang, tiang-tiang listrik sudah tampak ditanam di sepanjang jalan. Namun meski telah 6 tahun berdiri, listrik tak kunjung masuk. Akhirnya kabel-kabel itu dicuri orang, entah siapa...

Namun dibalik pemandangan duka lara itu, saya juga menemukan wajah-wajah ceria. Itulah wajah anak-anak negeri. Mereka selalu gembira berebut minta difoto.


Dan berikut ini adalah sebagian foto dari mbak Adesiti:

gedung-dprd-dilihat-dari-jalan-rayakantor-bappeda-2ini-jugatak-layak-hunimulai-gelap-kala-malam-menjelangdicurisalah-satu-proyek-mubazir-itusalah-satu-sudut-desa-kotodatuk-uttar-tetua-adat-desa-koto

Keterangan Foto:

  1. Gedung DPRD
  2. Kantor Bappeda
  3. Salah satu rumah di Pd. Tangguang
  4. Salah satu rumah di sudut desa Koto Pangean
  5. Rumah lain di desa Pd. Tangguang
  6. Kabel listrik yang dicuri
  7. Proyek yang mubazir
  8. Sudut desa Koto Pangean
  9. Datuak Utar, Tetua Adat Koto Pangean

Terima kasih untuk mbak Adesiti: http://adesiti.multiply.com/photos/album/20/Travelogue_Kuantan_Singingi_Riau

Pangean Dalam Peta

peta-pangean

Ternyata amat sangat susah sekali (berlebihan ya?) untuk menemukan statistik Pangean. Setelah pencarian sekian lama, googling dan obrak abrik situs pemerintah Kuantan Singingi, saya terpaksa harus gigit jari. Tidak ada data terbaru tentang Kecamatan Pangean. Padahal kecamatan ini sudah lama berdiri sendiri dan tidak lagi berstatus sebagai kecamatan pembantu dibawah kecamatan Kuantan Hilir. Apakah pemerintah kabupaten (bahkan propinsi) tidak berniat untuk meng-update data pemerintahannya sendiri? Atau memang tidak mau tahu dengan hal ini? Ah entahlah...!! Padahal statistik sebuah wilayah sangat penting bagi sebuah pemerintahan. Tidak heran kiranya jika wilayah negara kita lambat laun akan semakin berkurang karena dicomot negara lain. Toh kita tidak mempunyai bukti bahwa kita memilikinya, kan? Datanya saja tidak ada.

Ribet....!!!

Kembali ke peta. File ini saya temukan di tumpukan data-data Corel Draw yang dulunya saya minta pada Bang Arie Beyay untuk dijadikan bahan pelajaran design. Data inipun sudah lama, dua tahun yang lalu. Tentunya dalam jangka waktu begitu sudah banyak perubahan yang terjadi, dan data tersebut tentu saja tidak lagi relevan dengan keadaan sebenarnya. Tapi, tetap saja saya berterima kasih pada Bang Ari karena tanpa beliau peta ini tidak akan pernah saya temukan dalam bentuk digital.

Dalam data pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi (yang entah tahun berapa), luas wilayah Kecamatan Pangean adalah 145,32 km2 atau lebih kurang 1,9 % dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Kuantan Singingi. Kecamatan Pangean memiliki 14 desa yaitu Pasarbaru (sebagai ibukota kecamatan), Koto Pangean, Pulau Tongah, Pulau Kumpai, Tanah Bakali, Pulau Dore, Padang Tangguang, Toluak Pauah, Padang Kunik, Pambatang, Rawang Binjai, Puangik, Sukapiang, dan Pulau Ronge. Desa ini belum termasuk daerah di dusun Sako dalam yang berpenduduk lebih kurang sama dengan hitungan satu buah desa.

Pada Tahun 2000 (sudah 8 tahun yang lalu), jumlah penduduk laki-laki adalah sebanyak 6.678 orang dan perempuan sebanyak 6.487 orang, dengan klasifikasi rumah tangga sebanyak 3.150 buah.

Kondisi geografis Kecamatan Pangean:

  • Curah Hujan: > 1500 mm/tahun
  • Kemiringan Lereng: 0 - 45 derajat.
  • Ketinggian tanah 25-30 meter di atas permukaan air laut

Sarana Sosial/kemasyarakatan:

  • Sarana Pendidikan: SDN (18).
  • Jumlah Guru : SDN (119).
  • Jumlah murid : SD (2.047).
  • Sarana Ibadah: Mesjid (14), Mushalla (95)
  • Sarana Pasar/perbelanjaan: Pasar Baru Pangean (Jumat).

Keberadaan statistik ini sekali lagi hanya bersifat membantu karena mungkin ada beberapa teman yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kampung halamannya. Jelas, membantu pun hanya dalam taraf yang sangat sedikit sekali (Mo'o muah Pak, Buk, Mak, Tek, dll) karena kendala data yang sangat susah didapat dan tidak up to date.

Harapan saya ke depan, pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi melakukan data ulang untuk tiap kecamatan. Mungkin hal ini kelihatan sepele namun sesungguhnya sangat berarti bagi orang-orang yang peduli.

Salam...

Sumber data: http://www.kuansing.go.id